Pekanbaru, WahanaIndoNews.Com – Menjelang babak akhir sidang dugaan tindak pidana korupsi terdakwa Bupati Bengkalis nonaktif, Amril Mukminin di Pengadilan Negeri Pekanbaru, usai JPU KPK menyampaikan Replik Senin (19/10/2020) lalu, giliran Penasehat Hukum Amril Mukminin membacakan Duplik-nya secara virtual di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis (22/10/2020).
Dalam duplik tersebut, Penasehat Hukum (PH) terdakwa Amril Mukminin memberikan tanggapan terhadap seluruh materi replik yang sebelumnya disampaikan oleh JPU KPK.
JPU KPK berpendapat dalam repliknya bahwa konstruksi fakta yang PH uraikan di dalam nota pembelaan PH tidak berdasar, dan hanya mengutip sebagian bukti saja. PH menanggapi bahwa keterangan saksi- saksi, keterangan ahli, keterangan Terdakwa serta bukti- bukti yang PH tercatat di dalam berita acara persidangan. Oleh karenanya pendapat JPU KPK yang mengatakan bahwa dalil- dalil yang PH uraikan tidak didasarkan pada bukti- bukti dan hanya mengutip sebagian bukti adalah tidak benar. Oleh karenanya tanggapan JPU KPK tersebut haruslah dikesampingkan.
Pada poin ke-2, dalam replik JPU KPK mempermasalahkan unsur “Penyelenggara Negara” dan “menerima hadiah”, lantas menuduh bahwa PH tidak memahami cara menguraikan unsur, sehingga PH salah memahami dan mencampur adukkan antara unsur “Penyelenggara Negara” dan unsur “menerima hadiah”.
Menurut pendapat PH unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara” terikat dan tidak boleh lari dari yang ditegaskan undang- undang, yaitu didasarkan pada pengertian Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian yang secara tegas mengatur tentang apa yang dimaksud dengan “Pegawai Negeri”, menurut PH mungkin JPU KPK lupa terhadap Pasal tersebut sehingga tidak mencantumkan Pasal 1 UU No. 8 tahun 1974 di dalam Surat Tuntutannya.
Tim Penasehat Hukum terdakwa Amril Mukminin menjelaskan bahwa telah terbukti dan dibenarkan oleh JPU KPK, Terdakwa dilantik menjadi Bupati Bengkalis pada tanggal 17 Februari 2016, dimana sebelumnya Terdakwa telah mengundurkan diri sebagai anggota DPRD pada 22 Juli 2015. Oleh karenanya jika merujuk pada pengertian Pegawai Negeri dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1974 dan Pasal 1 angka 2 UU No. 31 tahun 1999 yang secara rigid dan tidak boleh dimaknai di luar itu, maka status “pegawai negeri” maupun “penyelenggara negara” terhitung 22 Juli 2015 s.d tanggal 16 Februari 2016, tidak lagi melekat pada diri Terdakwa.
Tim PH juga mengatakan bahwa Penuntut Umum sendiri secara tegas menguraikan di dalam surat dakwaannya dan surat tuntutannya bahwa dakwaan Terdakwa berbentuk Voorgezette handeling. Yakni tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut. Sehingga sudah sepatutnya kapasitas Terdakwa sebagai tertuduh pelaku tindak pidana -quod non- haruslah sama sejak permulaan dilakukannya tindak pidana sampai kepada tindak pidana yang dilakukan terakhir.
Selanjutnya, PH menilai JPU KPK tanpa dasar mempermasalahkan mengenai penetapan Terdakwa oleh KPU sebagai Bupati Bengkalis Terpilih pada tanggal 15 Desember 2015. Bahwa berdasarkan Peraturan Perundang- undangan, yang mengangkat seseorang menjadi Bupati bukanlah KPU, melainkan Presiden, Menteri, Gubernur incasu Bupati diangkat oleh Gubernur (ex: Pasal 4 ayat (1) Perpres No 16 tahun 2016). Sementara JPU KPK sendiri tidak mencantumkan peraturan perundang- undangan manakah yang menjadi dasar pernyataannya yang mengatakan bahwa pasangan calon yang telah ditetapkan sebagai bupati terpilih oleh KPU sudah merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
“Jika kapasaitas Terdakwa tidak sama di dalam perbuatan satu dan perbuatan selanjutnya, maka sudah tentu dakwaan tidak dibuat dalam bentuk vorgezette handeling, melainkan dakwaan dilakukan secara terpisah antara pebuatan satu dengan lainnya,” ujar Tim PH Amril Mukminin dalam Dupliknya.
“Berdasarkan uraian itu maka kami menilai telah jelas dan terang bahwa Terdakwa tidak memenuhi unsur sebagai “Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara”. Untuk itu beralasan jika Majelis Hakim Yang Mulia membenarkan pendapat kami ini, sehingga mengesampingkan uraian- uraian JPU KPK dalam Surat Tuntutannya mengenai Dakwaan Kesatu Primair,” ujar tim PH.
PH juga keberatan kepada dalil- dalil JPU KPK yang tanpa dasar mengatakan bahwa Azrul Nor Manurung adalah perpanjangan tangan Terdakwa. Secara tegas PH meminta agar JPU KPK membuktikan secara hukum dan berdasarkan peraturan perundang- undangan bahwa ajudan Bupati secara kapasitas, secara struktural maupun kepangkatan adalah merupakan perpanjangan tangan dari Bupati.
“Bahwa oleh permintaan kami tersebut, JPU KPK di dalam Repliknya-pun tidak membuktikan tuduhannya bahwa Azrul Nor Manurung dalam kapasitasnya sebagai ajudan Bupati merupakan perpanjangan tangan dari Terdakwa, JPU KPK hanya mengelak tanpa menguraikan dasar peraturan perundang- undangan yang menjadi acuan dalil- dalilnya. Oleh karenanya beralasan jika uraian- uraian JPU KPK di dalam surat tuntutannya mengenai Dakwaan Kesatu Primair dikesampingkan,” tuturnya.
Selanjutnya, terkait Unsur “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”, dalam nota pembeliannya telah nyata dan jelas didasarkan pada fakta persidangan, sedangkan KUHAP pada Pasal 185 ayat (1) dengan jelas mengatur, bahwa: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”.
Kala itu, Ichsan Suaidi bersaksi bahwa pada pertemuan pertama tepatnya di kopi tiam, saksi bertemu terdakwa hanya bertujuan untuk silaturahmi, menyampaikan isi putusan Mahkamah Agung yang telah memenangkan PT. CGA. Kemudian uang yang diberikan bukan merupakan uang pelicin karena saksi merupakan pemenang dari pekerjaan pembangunan jalan Duri – Sei.Pakning.
Keterangan Ichsan Suaidi tersebut telah terang dan jelas serta diucapkannya di bawah sumpah, dan perlu di ingat bahwa pertemuan Terdakwa dengan Ichsan Suaidi tersebut seluruhnya ketika Terdakwa bukan berstatus Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Dengan demikian unsur itu tidak terbukti secara nyata.
Lalu terkait komitmen fee antara Terdakwa dengan PT. CGA, Ichsan Suaidi dan Triyanto, didasarkan pada fakta- fakta yang terungkap di persidangan, yaitu berdasarkan keterangan Ichsan Suaidi, keterangan Triyanto dan keterangan Terdakwa sendiri, sehingga tidak ada alasan secara hukum untuk menolak uraian- uraian JPU KPK tersebut.
Bahwa tidak pernah dibuktikan Rekan JPU KPK dan juga memang tidak terbukti di Persidangan a quo berapa jumlah commitment fee antara Terdakwa dengan Pt. CGA, siapakah yang menawarkan commitment fee tersebut pertama sekali, dalam berapa tahapkah disepakati commitment fee dilakukan, Bahkan sampai pada repliknya-pun JPU KPK tidak dengan tegas mencantumkan jumlah commitment fee antara Terdakwa dengan PT. CGA.
Ia menilai JPU KPK seolah- olah menutupi kebenaran dengan menyatakan bahwa Terdakwa tidak keberatan dengan keterangan saksi Triyanto terkait “adat- istiadat” dalam proyek, padahal secara nyata di muka persidangan Terdakwa secara jelas telah mengajukan keberatannya terhadap keterangan saksi Triyanto tersebut.
“Kami berpendapat, seluruh uraian JPU KPK mengenai commitment fee, hanyalah delusi semata, sehingga sangat pantas jika uraian beserta alasan JPU KPK mengenai hal ini pada dakwaan kesatu primair dikesampingkan,” katanya.
Selanjutnya, menanggapai pemberian dari Jamal Abdillah dan unsur “setiap gratifikasi” serta keberatan terhadap keterangan- keterangan Ahli di dalam Persidangan, PH mangatakan bahwa mengenai pemberian dari Jamal Abdillah adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 182 ayat 4 KUHAP, yang pada dasarnya segala sesuatu yang terbukti di dalam persidangan harus didasarkan pada surat dakwaan, sehingga jika tidak dimuat dalam surat dakwaan, maka sangat beralasan untuk dikesampingkan.
Ia berpendapat bahwa permohonan JPU KPK untuk Majelis Hakim mengesampingkan pendapat- pendapat ahli adalah bertentangan dengan hukum acara pidana, bahwa Pasal 65 KUHAP Jo. Pasal 184 huruf b) KUHAP telah memberikan hak bagi Terdakwa untuk menghadirkan ahli, lagipula Pasal 184 huruf (b) KUHAP telah mengatur bahwa Keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah.
“Memohon kepada Majelis Hakim untuk mengesampingkan keterangan- keterangan ahli, menurut kami Jaksa JPU KPK telah khilaf seolah- olah berkeinginan untuk mengesampingkan hak- hak Terdakwa seraya menolak salah satu alat bukti yang sah. Oleh karenanya kami memohon kepada Majelis Hakim yang Mulia agar menganulir permohonan dari JPU KPK yang bertentangan dengan KUHAP tersebut.
PH juga menilai keberatan JPU KPK terkait para ahli di dalam perkara ini yakni Erdiansayah, SH, MH, dan Dr. Zulkarnain S, SH, MH saat memberikan keterangan mengenai isi Pasal 1320 KUHPerdata tidak berdasar. Hanya karena kedua orang ahli tersebut adalah Dosen Hukum Pidana dan hukum Acara Pidana.
“Sorang sarjana hukum adalah seorang yang dianggap tamat dalam mempelajari ilmu hukum, sedangkan Ilmu Hukum juga mencakup Hukum Perdata dan Hukum Pidana, sehingga tiada keraguan jika seorang Dosen Ilmu Hukum maupun Dosen Hukum Pidana dan Hukum Perdata sudah sepatutnya memahami Ilmu hukum dasar. Untuk itu keberatan JPU KPK haruslah dikesampingkan,” paparnya.
Sementara, terkait penertiban pabrik sawit adalah tugas kepolisian, PH justru menilai bukanlah tugas kepolisan untuk menertibkan antrian truk- truk pengangkut buah sawit (TBS) yang hendak masuk Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS), bukan pula tugas kepolisian. Sementara dalam persoalan pabrik sawit tersebut tidak terjadi peristiwa pidana.
“Jadi, menurut hemat kami tidak perlulah pihak kepolisian turun tangan dalam permasalahan pabrik sawit tersebut, oleh karena itu uraian JPU KPK tersebut beralasan untuk dikesampingkan,” bebernya.
Lalu, terkait Terdakwa sebagai anggota DPRD juga untuk menampung aspirasi masyarakat sehingga tidak dibenarkan untuk menerima Rp 5 per Kg dari Pabrik sawit, PH menjawab berdasarkan keterangan saksi Adyanto dan Jonny Tjoa bahwa ada permasalahan nyata yang dialami pabrik mereka, sehingga diperlukan penanganan secara nyata pula, tidak dapat hanya dengan sekedar menampung aspirasi saja.
Menurutnya, jika dengan sekedar menampung aspirasi saja permasalahan pabrik sawit dapat teratasi, tentunya Adyanto dan jonny Tjoa pasti lebih memilih untuk menyurati Ketua DPRD Bengkalis perihal aspirasi dan uneg- uneg sebagai pengusaha pabrik sawit.
Namun, insting pengusaha dari para saksi tersebut mengarahkan untuk tidak melakukannya, melainkan menghubungi Terdakwa yang dapat langsung terjun ke lapangan, oleh karenanya alasan- alasan JPU KPK Tersebut pantas untuk dikesampingakan.
Lagi, masalah uraian Penasehat Hukum mengenai Unsur “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”, “sebagai Anggota DPRD adalah tugas Terdakwa untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga- lembaga usaha di daerah”, PH berpendapat bahwa tugas anggota DPRD adalah pembentukan peraturan daerah atau Legislasi, terkuat anggaran atau Budgeting, dan melakukan pengawasan atau Controlling. Sehingga segala hal yang dilakukan oleh Terdakwa berdasarkan Perjanjian Kerjasama dengan PT. SAS dan PT. MASS sama sekali tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak melanggar kewajibannya sebagai anggota DPRD. Untuk itu alasan- alasan JPU KPK yang mempermasalahkan penerimaan uang yang secara rutin oleh Terdakwa dari PT. MASS dan PT. SAS berdasarkan Perjanjian Kerjasama tersebut tidak beralasan secara hukum.
Mengenai unsur “dianggap memberi suap” dan Laporan Terdakwa kepada LHKPN dan mengenai Nomor Rekening Terdakwa, dan penerimaan uang senilai Rp5 bertentangan dengan kewajiban Terdakwa. PH menilai bahwa JPU KPK tidak menjelaskan kewajiban Terdakwa yang mana yang telah dilanggarnya. Bahkan JPU KPK tidak pula mampu menguraikan seperti apa bentuk dari konflik kepentingan yang dilakukan Terdakwa dan apa hubungan antara penerimaan uang itu dengan Jabatan Terdakwa. Sementara, telah diterangkan Terdakwa bahwa penerimaan Rp. 5, per Kg tersebut adalah berdasarkan perjanjian kerjasama yang dibuat di hadapan Notaris dan sama sekali tidak bertentangan dengan hukum.
Lalu, JPU KPK juga tidak membantah uraian PH tentang Surat KPK nomor: B.1341/01-13/03/2017 tanggal 15 Maret 2017 hal: pedoman dan batasan gratifikasi (Vide: Bukti: T-9) yang selaras dengan peraturan KPK nomor 2 tahun 2019 tentang pelaporan gratifikasi yang merubah peraturan KPK nomor 6 tahun 2015 yang merubah peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2014, sebagaimana diatur pada pasal 2 ayat (3) huruf ( i ).
” Jadi menurut kami Rekan JPU KPK telah setuju dan sependapat dengan kami, bahwa berdasarkan ketentuan ini seluruh penerimaan- penerimaan dari PT. MASS ,Jonny Tjoa dan PT. SAS, Adyanto bukanlah gratifikasi yang wajib dilaporkan,” terangnya.
Terkait aset, PH berpendapat bahwa seluruh asset, termasuk tetapi tidak terbatas pada nomor rekening Terdakwa yang telah diblokir, yang tidak dapat dibuktikan sebagai hasil tindak pidana dan telah dibuktikan merupakan hasil usaha dan hasil dari keringat Terdakwa sendiri. Maka PH menilai sangat tidak beralasan untuk dirampas dan diblokir sebab hal itu telah mencederai hak- hak terdakwa dan melanggar rasa keadilan.
“Lagipula uang- uang hasil pemberian dari PT. CGA telah seluruhnya diserahkan kepada KPK, sehingga tidak ada alasan bagi KPK untuk melakukan perampasan harta selainnya sebagai upaya recovery, oleh karenanya segala perampasan asset yang didalilkan JPU KPK selayaknya untuk ditolak,” tambahnya.
Dijelaskannya uang yang disita dalam penggeledahan pada 1 Juni 2018 lalu total ada Rp 1.935.450.000. menurut PH itu adalah uang dari hasil jerih payah dan keringat Terdakwa sendiri. Dimana uang tersebut rencananya akan digunakan untuk keperluan usaha demi memenuhi kebutuhan hidup Terdakwa bersama isteri dan anak- anaknya ke depan.
“Kita memohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia agar berkenan untuk memutus bahwa uang tersebut dikembalikan kepada Terdakwa,” pintanya.
“Oleh karena Terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan- perbuatan sebagaimana didakwakan oleh JPU KPK, baik Dakwaan Kesatu Primair, Dakwaan Kesatu Subsidair dan Dakwaan Kedua, maka tidak sepantasnya kepada Terdakwa dijatuhi hukuman tambahan sebagaimana diuraikan oleh JPU KPK di dalam Repliknya angka 3, hal. 13 sangat tidak beralasan, apalagi baru diajukan pada Replik, bukan pada Surat Tuntutan. Sebab pada dasarnya Replik bukanlah surat untuk menuntut, melainkan sekedar surat tanggapan terhadap Nota Pembelaan. Oleh karenannya beralasan jika permohonan terhadap hukuman tambahan tersebut ditolak karena tidak diajukan pada surat tuntutan, sehingga dapat dimaknai bahwa memang awalnya JPU KPK tidak ingin menuntut hal tersebut karena telah melihat dan merasakan fakta persidangan,” terangnya.
Dalam duplik penutupnya, PH berkesimpulan bahwa Terdakwa Amril Mukminin tidak terbukti melanggar Dakwaan Kesatu Primair, Dakwaan Kesatu Subsider dan Dakwaan Kedua.
PH juga memohon agar Majelis Hakim memutus dengan amar :
1. Menyatakan Terdakwa amril mukminin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan pada Dakwaan Kesatu Primair atau Dakwaan Kesatu Subsidair, dan Dakwaan Kedua;
2. Membebaskan terdakwa Amril Mukminin dari semua tuntutan hukum (Vrijspraak) atau setidak-tidaknya menyatakan Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslaag Van Alle Rechtsvervolging);
3. Memerintahkan agar Terdakwa dibebaskan dari tahanan Rumah Tahanan (RUTAN) Kelas I Pekanbaru seketika setelah putusan dibacakan
4. Memulihkan Hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
5. Menetapkan barang bukti yang disita saat penggeledahan tanggal 01 Juni 2018 dengan total Rp 1.935.450.000 dikembalikan kepada Amril Mukminin
6. Menetapkan barang bukti yang disita lainnya dikembalikan kepada yang tersita atau berhak.
7. Memerintahkan KPK untuk mencabut blokir terhadap nomor Rekening: – Bank Riau nomor 108.21.26284 a.n Amril Mukminin; – Bank CIMB Niaga 703017971300 a.n Amril Mukminin.
8. Membebankan biaya perkara kepada Negara. (jupe)